Sebuah sorotan penting dalam sejarah Indonesia tentang Peran (HMI) Himpunan Mahasiswa Islam (1965-1969) dalam menghancurkan Paham Komunisme dan menegakkan Orde Baru. Hampir semua peristiwa besar sejarah diinspirasi dan digerakkan oleh kelompok muda (belia). Seakan tidak ada peristiwa sejarah yang tidak memuat nama dan peran Angkatan Muda. Begitu kenyataan sejarah dimerata dunia, dan begitu juga yang terjadi di Indonesia. Kalau Sejarah Indonesia itu disusun berdasarkan klasifikasi Angkatan yang menggerakkannnya, yang hampir seluruhnya digerakkan oleh belia, maka susunannya akan berurut sebagai berikut :
A. Pendahuluan
Angkatan 1928, yang terdiri dari para pemuda Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Bataks, dan Paguyuban Pasundan, mencetuskan Sumpah Pemuda, yang merupakan tonggak pertama sejarah Indonesia modern. Angkatan 1945 yang memerdekakan Indonesia, berjuang melawan penjajahan Belanda, Jepang dan kembalinya Belanda ke Indonesia setelah kekalahan Jepang. Memunculkan nama-nama Sukarno, Hatta, Syahrir, Yamin, dan lain-lain.
Angkatan 66 yang terdiri atas pejuang-pejuang muda – baik dari organisasi mahasiswa, pelajar dan pemuda atau dari kampus – yang tergabung dalam berbagai organisasi Seperti KAMI (Kesatun Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatruan Aksi Wanita Indonesia), seluruhnya bergabung dalam Angkatan 66. Mereka berjuang meluruskan arah dan tujuan perjuangan bangsa yang diselewengkan oleh Orde Lama dan Komunisme. HMI menjadi pendukung utama dan menjadi bagian paling menentukan dalam Angkatan 66.
Makalah ini memfokuskan peran yang dimainkan oleh salah satu organisasi mahasiswa, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), salah satu organisasi mahasiswa Islam Indonesia, yang ada pada masa itu dan yang masih hidup sampai ke hari ini.
Kenapa tema Peran HMI itu begitu penting untuk dijadikan judul dan tema makalah ini ?, apa signifikansi peran HMI dalam sejarah peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru ?. Pemilihan tema ini berdasarkan alasan dan pertimbangan :
- HMI merupakan organisasi mahasiswa yang secara kuantitatif merupakan organisasi mahasiswa terbesar waktu itu. HMI terdapat dihampir seluruh kota yang memiliki universitas dan perguruan tinggi, dengan kelengkapan pedoman, institusional dan struktural.
- Secara fungsional, tokoh-tokoh HMI mempunyai militansi yang tinggi, daya juang yang cukup handal, sehingga kehadirannya dan perannya dirasakan oleh masyarakat, ditakuti lawan dan disegani kawan.
- HMI memiliki beberapa karakteristik, salah satunya independent (sehingga dia merasa menjadi anak umat dan anak banhgsa, bukan anak atau onderbow salah satu kekuatan politik manapun), menjadi pejuang Islam dan sekaligus pejuang bangsa. Karena panggilan keagamaannya maka HMI terpanggil untuk mempejuangkan agama dan umatnya, dan karena panggilan kebangsaannya, maka HMI juga berjuang untuk bangsanya pada seluruh event perjuangan bangsa. HMI relative lebih radikal dan militant, sehingga berani berhadapan dengan kekuatan Komunisme (Partai Komunis Indonesia dan organisasi-organisasi lain yang seasas dengannya), padahal PKI waktu itu merupakan Partai politik yang paling kuat.
Pertanyaan penting yang hendak dijawab dengan makalah ini, Apa latar belakang, motive dan landasan filosofis yang menyebabkan HMI begitu kuat dan gigih menghadapi Komunisme ?, bagaimana detik demi detik perjuangan yang dilalui HMI pada masa-masa penuh tantangan dan cabaran itu berlaku?, dan bagaimana kekuatan Angkatan 66 secara bersama-sama berhasil memenangkan pertarungan melawan Orde Lama dan membangun Orde Baru ?
Batasan waktu makalah ini adalah antara tahun 1965 sampai 1969. Dimulai pada tahun 1965, karena pada tahun inilah PKI dan antek-anteknya melakukan percobaan rampasan kuasa, yang terkenal dengan sebutan Gerakan Tiga Puluh September Partai Komunis Indonesia (Gestapu/PKI). Dan semenjak itu bermulalah perjuangan menghancurkan komunisme sampai keakar-akarnya, baik secatra fisik seperti menghancurkan kantor/pejabat PKI diseluruh Indonesia, mahupun non-fisik seperti melenyapkan ideologi komunisme dengan membakar seluruh buku-buku, tulisan, bahan tertulis tentang komunisme dan dilarangnya mengajarkan dan menyebarkan ideologi kumunisme di Indonesia.
Sedang akhir masa makalah ini tahun 1969, karena pada tahun ini Angkatan 66 telah kehilangan issu utamanya, telah kehabisan nafas, sehingga tidak mampu lagi melanjutkan perjuangannya. Angkatan 66 lenyap bersamaan dengan mengundurkan dirinya organisasi pendukungnya satu persatu dan tokoh-tokohnya berjuang dalam bentuk lain dan dalam wadah lain, seperti masuk menjadi anggota DPRGR dan lain sebagainya.
B. Mengenal HMI lebih dalam
Himpunan Mahasiswa Islamn (HMI) dilahirkan di kota Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947 oleh beberapa orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) seperti Lafran Pane (sebagai pemrakarsa) dan Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Bidron Hadi (yang ikut hadir dalam rapat pertama pembentukan HMI tgl 5 Februari 1947).
Latar Belakang ditubuhkannya HMI, karena organisasi mahasiswa yang sudah ada sebelumnya seperti Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) masih bersifat kedaerahan, berbau feodalisme dan terlalu kebarat-baratan, sehingga aspirasi keislaman sama sekali tidak tersalurkan melalui PMY. Latar belakang berikutnya adalah bahwa kondisi umat Islam Indonesia sangat memprhatinkan, terbelakang, dan jumud, dan kondisi perguruan tinggi yang terlalu berat pada masalah duniawiyah dan pendidikan umum, sama sekali meninggalkan ukhrawiyah dan pendidikan agama. Secara institusional, Jong Islamieten Bond sebagai satu-satunya wadah perjuangan angkatan Muda Islam sudah lama mati, sehingga HMI berharap dapat menjadi pelanjut dari perjuangan Jong Islamieten Bond.
Agussalim Sitompul sebagai sejarawan yang banyak menulis tentang sejarah HMI, membagi periodeisasi sejarah HMI menjadi : Periode perintisan, pengokohan, perjuangan bersenjata melawan penjajah, pembinaan kader, penggerak angran 66, partisipasi dalam pembangunan, dan pembaharuan pemikiran.
Sebagai tata aturan dan Pedoman Organisasi, HMI memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, HMI juga dilengkapi dengan Garis-garis Pokok Perjuangan HMI kemudian disempurnakan menjadi Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), setelah dilengkapi dengan Program Kerja pada setiap Kongres, merupakan kelengkapan yang menjadi arahan, pedoman sekaligus penentu langkah dalam perrjuangan HMI.
Secara institusional, HMI melengkapi organnya dengan Korp Alumni HMI (KAHMI) yang berisi seluruh alumni atau mantan pengurus dan anggota-anggota HMI, Korp HMI-Wati (KOHATI) yang berisi mahasiswi atau puteri HMI, Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI), Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI), dll.
Sedang secara structural, HMI mempunyai struktur mulai dari tingkat Nasoional/Pusat (Pengurus Besar/PB), Tingkat Propinsi/gabungan beberapa Propinsi (Pengurus Badan Koordinator/Badko), tingkat Kota/kabupaten (Pengurus Cabang), tingkat Perguruan Tinggi (Pengurus Kordinator Komisariat /Korkom), tingkat Fakultas/akademi (Pengurus Komisaririat), dan tingkat daerah kecil (pengurus Rayon).
Independensi HMI dapat bersifat positif, karena HMI merasa anak kandung umat secara menyeluruh, tidak sekedar anak kandung organisasi dan kekuatan Islam tertentu. Namun independensi itu juga bisa bersifat negative, artinya tidak ada Partai atau organisasi atau kekuatan Islam yang benar-benar merasa “sayang” pada HMI, karena masing-masing Organisasi telah mempunyai sayap mahasiswa sendiri. Seperti misalnya NU mempunyai PMII, PSII mempunyai SEMMI, Muhammadiyah mempunyai IMM, dan Perti mempunyai Germahi/KMI.
C. Keterlibatan HMI dalam aksi-aksi menghancurkan Komunisme dan Melahirkan Orde Baru pada tahun 1965-1969.
Sebelum terjadinya pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, PKI sudah pernah melakukan dua kali pemberontakan, yakni pemberontakan Tiga Daerah (Tegal, Brebes dan Pemalang) tanggal 11 Desember 1945, dan pemberontakan PKI Madiun tanggal 18 September 1948. Sebenarnya dua kali pemberontakan tersebut sudah memberikan pertandfa bagi masyarakat Indonesia, bagaimana sebenarnya kecintaan PKI terhadap Negara dan bangsa Indonesia. Tapi karena rakyat Indonesia tengah sibuk menghadapi kembalinya Belanda ke Indonesia melalui NICA, maka rakyat dan pemerintah Indonesia cepat sekali mema’afkan kesalahan PKI dan melupakannya. Akibatnya PKI secara cepat kembali berkembang bagaikan virus yang memasuki segenap bagian tubuh Indonesia.
Hasil kerja keras PKI nampak dalam hasil Pemilihan Umum (Pilihan Raya) tahun 1955, dimana PKI muncul sebagai kekuatan keempat terbesar sesudah PNI, Masyumi dan NU. Kekuatan PKI mencapai kemuncaknya ketika berhasil membangun beberapa perguruan rakyat seperti Panti Pengetahuan Rakyat (Panpera), Balai Pengetahuan Rakyat (Bapera) dan Mimbar Pengetahuan Rakyat(Mipera) dihampir seluruh wilayahg dan kota di Indonesia. Berhasil membangun Perguruan Tinggi Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Institut Pendidikan Harjono, Akademi Ilmu Sejarah Ronggowarsito, Akademi Ilmu Ekonomi DR. Ratulangi, Akademi Ilmu Teknik Ir. Anwari, Universitas Bachtarruddin dan IKIP Kujang di kota-kota di Jawa.
Dalam bidang organisasi PKI berhasil menubuhkan Comite Daerah Besar (CDB) di Propinsi, Comite Seksi (CS) di Kabupaten dan Kota, Comite Sub Seksi (CSS) di Kecamatan dan Comite Resort (CR) di Kelurahan atau Desa di hamper seluruh wilyah Indonesia. Bahkan PKI juga berhasil membentuk dan menggerakkan organisasi yang menjadi bagian (sayap) dari PKI, seperti :
- Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BEPERKI), untuk keahlian warga keturunan Cina.
- PGRI Non Fak Sentral, untuk keahlian propesi guru-guru, guna menandingi PGRI.
- Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), untuk keahlian buruh dan pekerja.
- Barisan Tani Indonesia (BTI), untuk para petani dan Nelayan.
- Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) untuk menampung keahlian para pegawai tingkat kelurahan/desa.
- Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), untuk mahasiswa.
- Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) untuk wanita.
- Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) untuk pelajar dan siswa.
- Pemuda Rakyat (PR) untuk pemuda dan belia.
- Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) untuk sarjana dan graduan Perguruan Tinggi.
- Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) untuk kehalian seniman dan budayawan.
Seluruh organisasi dan Lembaga tersebut, menghimpun tidak kurang dari 20 juta anggota dan simpatisannya, suatu jumlah anggota komunis yang terbesar di luar negara-negara komunis.
Untuk menyebar luaskan komunisme dan ajaran-ajarannya, PKI menerbitkan tiga surat kabar : Harian Rakyat, Warta Bhakti dan Bintang Timur. PKI juga mampu mempengaruhi isi surat kabar lain : Harian Zaman Baru, Harian Republik, Pendorong, Sinpo serta Terompet Masyarakat. Untuk memperkuat kedudukannya PKI berhasil menguasai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Lembaga Kantor Berita Antara. Dan melalui tangan Sukarno dan memperalat proses Nasakomisasi, PKI berhasil menguasai banyak lembaga Negara dan Lembaga Tinggi Negara, menguasai Angkatan Udara.
Keseluruhan akumulasi kekuatan PKI tersebut membawa mereka pada kesimpulan, bahwa mereka telah siap untuk melakukan rampas kuasa, dan tinggal menunggu waktu. Dalam bahasa isyarat PKI, mereka menyebut kondisi dan kekuatan itu dengan ”Ibu telah hamil tua”, tinggal menunggu saat-saat melahirkan yang waktunya tidak lama lagi.
Pada tanggal 30 September 1965, PKI telah menyiapkan tiga pasukan utama : Pasukan Pasopati, Pasukan Pringgodani dan Pasukan Bimasakti, dengan tugas dan kewajiban masing-masing. Pasukan Prinngodani menguasai Lapangan udara Halim Perdanakusuma dan sarana-sarana penting politik dan ekonomi. Pasukan Bimasaksi menguasai sekitar Monas, istana negara, RRI dan Telekomunikasi dan tempat tempat strategis lainnya. Pasukan Pasopati bertugas menculik dan membunuh para Jenderal Angkatan Darat yang berlawanan dengan PKI. Pukul 03.00 pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Pasopati telah berhasil membunuh dan membawa pergi tiga jenderal : A. Yani, MT. Harjono dan DI. Panjaitan. Dan selanjutnya menculik empat orang jenderal lainnya : R. Suprapto, S. Parman, Sutojo dan P. Tendean. Sedang jenderal yang diculik tapi berhasil membebaskan diri adalah Nasution.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.00 pagi, Pemberontak PKI mengumumkan melalui siaran RRI Pusat, tentang pembentukan gerakan perjuangan yang berfungsi sebagai pemerintah sementara yang disebut Gerakan Tiga Puluh September, yang dalam praktek sehari-hari dilaksanakan oleh Dewan Revolusi Indonesia., dan seterusnya akan dibentuk Dewan Revolusi Propinsi, Dewan Revolusi Kabupaten dan Dewan Revolusi Kecamatan.
Secara kilat mereka membentuk Dewan Revolusi Indonesia yang terdiri dari 45 orang, lima diantaranya bertindak sebagai Presidium, dan selebihnya menjadi anggota. Secara praktis, hasil maksimal pemberontakan ini hanya sampai setakat ini sahaja. Karena sebelum mereka sempat meluaskan pengaruhnya ke wilayah-wilayah lainnya di luar Jakarta dan Jawa Tengah, dan sebelum mereka dapat menguasai berbagai posisi dan lokasi pengambilan keputusan dan proyek-proyek fital, mereka telah kehabisan energi dan akhirnya keadaan berbalik kearah kehancuran mereka.
Kesalahan kecil tapi berpengaruh pada tahap operasi militer Gerakan Tiga Puluh September adalah lolosnya jenderal Nasution dan tidak diperhitungkannya kekuatan Konstrad yang dipimpin oleh Jenderal Suharto. Dua orang jenderal yang kurang diperhitungkan inilah yang menjadi motor dan lokomotif gerakan penghancuran penghancuran Gestapu/PKI.
Suharto sebagai panglima Konstrad langsung bertindak cepat dan mengambil berbagai langkah, ketika banyak orang masih kebingungan. Pertama, langsung mengontak Panglima Angkatan Laut, Panglima Angkatan Kepoolisian dan Komandan Batalyon Kujang Siliowangi di Bandung dan menggerakkan pasukan elit angkatan Darat RPKAD (Resimen Para Angkatan Darat) untuk merebut Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat dan Gedung Telekomunikasi. Pada pukul 19.00 (malam) tanggal 1 Oktober 1965 itu, Suharto sudah tampil berbicara di corong radio, mengumumkan bahwa Gestapu/PKI dan Dewan Revolusinya adalah makar dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, dan meminta rakyat untuk tidak melibatkan diri dalam pemberontakan tersebut. Inilah kali pertama, seorang jenderal menegaskan ”siapa kawan dan siapa lawan”, dan meminta rakyat untuk menghancurkan pemberontakan tersebut.
Dalam bidang politik ada tiga tindakan yang dilakukan pemerintah dan rakyat Indonesia dalam menumpas PKI :
- Menertibkan lembaga-lembaga atau badan-badan kenegaraan yang telah menyimpang dari isi dan maksud UUD 1945, dan mengembalikannya pada ketentuan yang sebenarnya.
- Menertibkan produk dan keputusan lembaga Negara yang telah menyimpang, dan mengemablikannya pada aturan yang sebenarnya, seperti tata perarutan perundangan, pidato-pidato presiden yang telah menjadi aturan formal kenegaraan.
- Pembersihan lembaga atau badan kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan dari orang-orang keomunis dan yang terlibat Gestapu/PKI, dengan memberherntikan dan mengadili (menahan dan menghukum) mereka.
Kemudian dengan menggunakan legalitas Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diberikan Sukarno (sebagai Presiden konstitusional dan sah) kepada Suharto (Pangkostrad yang akhirnya telah menjadi penguasa faktual), maka Suharto telah melakukan Pembubaran PKI dan semua organisasi yang bernaung dibawahnya, dan menyatakan ajaran komunisme/maksisme sebagai ajaran terlarang di seluruh wilayah Indonesia (dengan Surat Keputusan nomor 1/3/1966, tanggal 12 Maret 1966). Dilanjutkan dengan pemberhentian 63 orang anggota DPR-GR dari keanggotaan DPR-GR, dan memberhentikan dan menahan 15 orang Menteri yang diduga ada kaitan dengan PKI/Komuniosme dari jabatan masing-masing.
Selanjutnya upaya penghancuran PKI/Komunisme berlanjut ke daerah. Kekuatan anti PKI/Komunisme yang bermula di Jakarta, menjalar secara cepat keseluruh wilayah Indonesia. Disinilah peran Angkatan 66 yang terdiri dari berbagai Organisasi Mahasiswa seperti HMI menjadi begitu penting dan menonjol.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, jauh sebelum pemberontakan Gestapu/PKI, sudah ada pihak dan golongan yang anti komunis, baik yang dinyatakan terang-terangan mauhupun secara senyap. Termasuk kedalam kelompok ini antara lain beberapa perwira Angkatan Darat, tokoh-tokoh Isl;am seperti bekas-bekas anggota Masyumi, HMI, PII, kalangan muda Nu dan Muhammadiyahg, bekas-bekas anggota PSI, tokoh-tokoh tertentu Katholik/PMKRI, SOKSI dan lain-lain. Secara naluriah, kelompok inilah yang paling cepat terpanggil untuk memaklumkan ”perang” terhadap PKI.
Sulastomo, Ketua Umum Pengurus Besar HMI waktu itu, bersama Syarifuddin Harahap pada pagi tanggal 1 Oktober itu langsung mengontak Subchan ZE – Ketua PB NU yang derkat dengan angkatan muda – untuk menilai sutuasi dan menentukan sikap bersama. Atas initiatif Subchan ZE, diselenggarakan rapat umum pertama menentang dan mengutuk Gestapu/PKI pada tanggal 4 Oktober 1965 di Taman Sunda Kelapa Jakarta, yang intinya mereka mengutuk Gestapu/PKI dan menuntut pembubaran PKI dan antek-anteknya.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 petang, Subchan ZE bersama tokoh-tokoh anti komunis membentuk badan yang mengkkordinasikan aksi-aksi penumpasan PKI dikalangan sipil, yang diberi nama ”Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gestapu”, disingkat KAP-Gestapu. Inilah organisasi kesatuan aksi pertama di Indonesia yang bertujuan menghancurkan Komunisme di Indonesia, dengan alamat pejabatnya berada di Jalan Sam Ratulangi nomor ! (Sekretariat PMKRI) dan juga Jalan Banyumas nomor 4 (Rumah Subchan ZE). KAP-Gestapu ini didukung oleh NU, Partai Katholik, Muhammadiyah, Angkatan Muda Muhammadiyah, GP Anshor, IPKI, HMI/KAHMI, PII, Gasbiindo, PMKRI, Pemuda Muslimin/PSII dan perorangan. Dari kalangan HMI/KAHMI yang ikut dalam Susunan Pengurus KAP-GESTAPU adalah : Syarifuddin Harahap (Biro Keuangan), Ismaeil Hasan Metareum, Marie Muhammad, Dahlan Ranumihardja dan Sulastomo (anggota).
Organisasi KAP-Gestapu menjadi semacam ”dapur” pemikiran dalam menilai setiap perkembangan situasi dan mengolahnya menjadi berbagai program aksi, mulai dari aksi jalanan (demoinstrasi) sampai pada pengiriman petisi dan utusan pada lembaga yang berkepentingan. Adalah KAP-Gestapu yang memperkenalkan dan memulai aksi-aksi jalanan (demonstrasi) yang kemudian menjadi program rutin seluruh kesatuan aksi lainnya. Sejalan dengan hal itu, seluruh kantor/office/ibu pejabat seluruh PKI dan organisasi yang mendukungnya, dihancurkan atau dikuasai oleh kelompok-kelompok PII, HMI dan Pemuda Muhammadiyah atau diserahkan pada Militer.
Keterlibatan HMI dalam Angkatan 66 disalurkan melalui organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didirikan pada tanggal 25 Oktober 1965. Pada periode awal KAMI didukung oleh HMI, PMKRI, PMII, SOMAL, Mapancas, SEMMI, GERMAHII, GMKI dan IMM. Dalam kepengurusan KAMI Pusat (periode I 25 Oktober 1965-21 Juli 1966), HMI mengirimkan wakilnya Nazar E. Nasution (sebagai Sekretari Jenderal) dan Ismid Hadad (sebagai Biro Penerangan. Sedang dalam kepengurusan periode II (mulai 21 Juli 1966), HMI mengirimkan Marie Muhammad (sebagai salah seorang Ketua), dan Farid Laksmana (Sekretaris Jenderal) dan Ismid Hadad (Biro Penerangan). Pada periode kedua dukungan terhadap KAMI meluas pada PELMASI.
Peran HMI semakin kuat dan dominan dalam setiap kegiatan KAMI, karena dua hal : Pertama karena jumlah anggota (massa) HMI yang begitu besar, sehingga setiap ada kegiatan aksi jalanan, maka adalah massa HMI yang ikut paling banyak. Kedua, HMI merupakan organisasi mahasiswa yang paling dibenci oleh PKI dan bahkan yang dituntut untuk dibubarkan, sehingga bagi HMI komunisme adalah ”musuh” sejak lama dan musuh sepanjang sejarahnya.
Dalam berbagai suka duka perjuangan melawan komunisme di Indonesia, HMI melahirkan pemihakan pada aspirasi rakyat yang dikenal dengan Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) dan memperjuangkan berbagai keluhan, tuntutan dan Hati Nurani Rakyat (HANURA), dan kemudian memformulasikannya menjadi Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat) :
- Bubarkan PKI dan antek-anteknya, tuntutan dalam bidang ideologi dan politik, untuk menyelamatkan bangsa dari idelogi komunisme.
- Turunkan harga, tuntutan dalam bidang ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang sudah lama menderita karena kehancuran ekonomi akibat korupsi, salah urus, penyalahgunaan kuasa.
- Bersihkan Kabinet dari Menteri-menteri yang diduga terlibat dengan Komunisme dan berbagai penyelewengan lainnya.
Substansi Tri Tura tersebut disusun bersama oleh Cosmos Batubara, David Napitupulu, dan Marie Muhammad (HMI), sedang redaksi nya disusun oleh Ismid Hadad (IPMI) dan Saverinus Suardi (PMKRI). Dengan rumusan Tri Tura, maka perjuangan Angkatan 66, telah meluas dan melebar dari sekedar penghancuran Komunisme di Indonesia (tura pertama), menjadi tuntutan dalam bidang ekonomi (tura kedua) dan tuntutan dalam bidang politik (tura ketiga). Dan itu menjadi pertanda bahwa perjuangan bukan sekedar masalah permukaan dan ringan, tapi sidah masuk pada masalah dalaman perjuangan rakyat.
HMI melibatkan diri dan menjadi pendukung utama pada seluruh kegiatan KAMI, mulai sejak KAMI berdiri sampai dengan lumpuhnya KAMI pada tahun 1969, mulai dari perencanaan kegiatan, persiapan sampai dengan pelaksanaan aksi dan kemudian evaluasi setiap aksi. Mulai dari penyusunan konsep, agenda dan gagasan serta ide, sampai pada mengerahkan massanya pada setiap kegiatan. Bahkan HMI dan beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar dari kalangan Islam, menghiasi aksi-aksi jalanan dengan ucapan Takbir yang membahana, sehingga aksi berjalan begitu bersemangat sekaligus berwarna ilahiyah.
Perjuangan HMI dalam Angkatan 66, berlaku dalam suka duka, dalam pahit manis perjuangan, berhadapan dengan kekuatan Penguasa dan Militer yang berpihak pada Sukarno (Orde Lama) dan PKI. Banyak resiko yang ditempuh, mulai dari sekedar penderitaan kekurangan makan, tekanan dan seksaan fisik, sampai pada kematian. Banyak korban tewas dalam perjuangan panjang menegakkan Ode Baru. Dalam aksi tanggal 24 Februari 1966, gugur dua orang pejuang Angkatan 66, yakni Zubaedah (PII/KAPPI), dan Arief Rahman Hakim (HMI/KAMI). Ketika mengantarkan jenazah Arief Rahman Hakim, ke pemakaman tanggal 25 Februari 1966, terjadilah prosesi perarakan mengantarkan jenazah yang luar biasa syahdu dan mengharukan, dan seluruhnya memperkuat tekad dan semangat generasi muda untuk terus berjuang.
Terdapat senarai pejuang yang gugur, seperti Hasanuddin Noor (Mahasiswa Universiutas Lambung Mangkurat Banjarmasin) wafat tanggal 10 Februari 1966, Muhammad Syarif al-Kadri (mahasiswa Ujung Pandang) gugur tanggal 25 Februari 1966, Aris Munandar (Pelajar SMP Muhammadiyah X Yogyakarta), Margono (pelajar SPG Muhammadiyah I Yogyakarta), keduanya gugur tanggal 10 Maret 1966. Yusuf Hasiru dan Dicky Oroh (Pelajar di Menado) gugur tanggal 31 Maret 1966, Mohd. Syafi’i (pelajar Jakarta), Hasanuddin (mahasiswa Ujung Pandang), Ikhwan Ridwan Rais (pelajar Jakarta) gugur tanggal 9 Mei 1966, Yulius Usman (mahasiswa FE-UNPAD Bandung) gugur tanggal 18 Agustus 1966, Ahmad Karim (pelajar STM Bukittinggi) gugur tanggal 11 Desember 1966, Zainal Zakse (wartawan harian KAMI Jakarta) gugur tanggal 8 Mei 1967. Seluruh mereka dicatat dengan tinta emas sebagai pejuang yang membela hak-hak rakyat dan diangkat sebagai Pahlawan Ampera, dan perjuangan mereka tidak akan pernah dilupakan rakyat Indonesia.
Taufik Ismail, seorang tokoh Angkatan 66 dari kalangan penyair, mengabadikan suasana kedukaan itu dalam sajaknya yang sangat terkenal ”Sebuah Jaket Berlumuran Darah” :
Sebuah jaket berlumuran darah
Kita semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
…………………………………………….
Akan mundurkah kita sekarang?
Seraya mengucap ”Selamat tinggal perjuangan”?
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang Pelayan?.
…………………………………………
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN.
Dan ternyata air mata dan darah korban pejuang Ampera, tidak menyurutkan langkah perjuangan, justru memperkuat semangat dan azam, sehingga akhirnya dapat menurunkan Sukarno dari tahtanya, dapat menghancurkan Komunisme di Indonesia untuk selama-lamanya, dan akhirnya dapat menegakkan Orde Baru.
D. Kesimpulan dan Penutup
- HMI adalah suatu organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi perjuangan. Organisasi yang didirikan pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta ini, mempunyai tujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil-makmur yang diredai Allah SWT.
- Dari rumusan formal yang trermaktub dalam pedoman-pedoman pokok Organisasi, maupun kiprah yang dilakukannya, ternyata bahwa keIslaman dan keIndonesiaan merupakan jatidiri HMI. Karena ajaran Islam menjadi sumber nilai, motivasi dan inspirasi, maka konsekuensinya HMI menolak setiap ajaran dan praktek yang beretentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam, khususnya penolakan terhadap komunisme. Karena kecintaannya pada Negara Bangsa, HMI terpanggil untuk melawan berbagai penyelewengan dan ketidak adilan, termasuk pemberontakan PKI Madiun dan Pemberontakan Gestapu/PKI 1965.
- HMI menolak dan melawan PKI/Komunisme, pada awalnya didasarkan atas dasar pertimbangan keagamaannya dan pada akhirnya didasarkan atas pertimbangan politik dan rasa kebangsaannya. Itulah sebabnya begitu terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1965, HMI tidak memerlukan waktu lama dalam menentukan sikap dan secara serta merta melibatkan diri dalam upaya menumpas komunisme di Indonesia.
- HMI berkiprah melalui dua jalur : Pertama, jalur formal yang mewakili suara resmi institusi HMI. Kedua, jalur individual, melalui anggota-anggota HMI yang menguasai sebahagian besar massa KAP-Gestapu dan KAMI dan Lasykar Arief Rahman Hakim. Perjuangan tidak mungkin tanpa pengorbanan, dan pengorbanan yang diberikan mahasiswa dan pelajar untuk membela rakyat, tercatat dalam daftar panjang Pahlawan Ampera, yang gugur ditengah aksi-aksi jalanan melawan tirani. Memang harus diakui bahwa slogan ”HMI punya peranan besar dalam Angkatan 66” ternyata merupakan mitos yang terlalu dibesar-besarkan, tapi sebaliknya siapapun harus mengakui bahwa ”Angakatan 66 tanpa HMI tidak mungkin ada”.
Penulis Oleh : DR.H. Saifullah SA., MA
Diterbitkan oleh PKBI (Pusat Kajian Budaya Islam)