Pada dekade 1980an, publik Indonesia diramaikan wacana pemerintah Pancasila sebagai asas tunggal. Organisasi dan partai politik pun mau tidak mau harus menerima UU Nomor 3/1985. Atau bubar. Tak ada organisasi mahasiswa seakbar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Indonesia. Dalam sejarahnya, organisasi yang didirikan Lafran Pane ini pernah nyaris bubar di masa Orde Lama, tapi di masa-masa itu HMI tak terpecah. Lembaga ini malah mengalami perpecahan di masa Orde Baru. Penyebabnya adalah UU Nomor 3/1985 yang disahkan pada 19 Februari 1985 yang mengharuskan Pancasila menjadi asas tunggal dalam setiap organisasi.
“Dalam rangka ini dan demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai Politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Pancasila yang dimaksud dalam Undang-undang ini ialah yang rumusannya tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.” Demikian bunyi penjelasan UU Nomor 3/1985 yang menggantikan UU Nomor 3/1975 tersebut.
Pemerintah Orde Baru, yang direstui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lewat undang-undang itu menginginkan Pancasila menjadi asas tunggal. Partai atau organisasi sekuler tentu tak punya masalah besar dengan produk hukum itu. Namun, ceritanya lain bagi organisasi atau partai berbasis agama. Pengesahan UU ini menimbulkan perdebatan sengit.
“Awal lahirnya wacana asas tunggal Pancasila, bermula dari bentrok fisik antara massa pendukung PPP dengan Golkar di Lapangan Banteng Jakarta,” tulis Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan 1982-1985 (2014). Asas tunggal Pancasila adalah cara Orde Baru mencegah konflik ideologi.
Pada 1983, dalam beberapa acara berbeda—dalam acara halal bihalal dengan Perwira ABRI 17 Juli 1983, rapat pusat Pepabri 26 Juli 1983, serta kunjungan KNPI 20 September 1983—Soeharto “menegaskan pentingnya setiap kekuatan sosial politik menerima azas tunggal Pancasila.”
Untuk menenangkan kaum Islam-politik, Soeharto menegaskan Pancasila sebagai asas organisasi kemasyarakatan tak akan mengurangi arti dan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menteri Koordinator Politik Keamanan (Menko Polkam) Surono juga ikut serta mensosialisasikan Pancasila asas tunggal. Menteri Agama Munawir Sjadzali juga tak lupa mensosialisasikannya dalam rapat kerja Majelis Ulama Indonesia (MUI), 5 Maret 1984. Menurutnya, tak ada alasan umat Islam menolak asas tunggal.
“Dari segi aqidah, Pancasila itu bukan jajarannya karena ia adalah asas hidup bersama dengan saudara-saudara kita yang beragama lain seperti dulu Nabi SAW dulu melahirkan kesepakatan yang hampir sama esensinya dengan yang kita kenal sebagai dokumen Madinah itu,” kata Munawir Sjadzali dalam sambutannya kepada para ulama terkait sosialisasinya (Munawir Sjadzali, Partisipasi Umat Islam Dalam Pembangunan Nasional, 1983).
Golkar melalui fungsionarisnya Yakob Tobing menegaskan bahwa asas tunggal sangat penting mencegah radikalisme antar pendukung parpol. Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas NU 1983 secara aklamasi menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Sebelumnya, KH As’ad Syamsul Arifin bahkan sudah memberi jaminan ketika bertemu Presiden Soeharto para kiai akan menerimanya.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan satu-satunya partai Islam setelah fusi partai 1973, bahkan menerima asas tunggal itu. PPP mengaku sudah tidak mengedepankan identitasnya sebagai partai Islam dan menjadikan diri partai terbuka.
Menurut Fikrul Hanif Sufyan, NU dan PPP menerima tanpa beban asas tunggal ini. Namun, Muhammadiyah lain sikapnya. “Muhammadiyah terkesan sangat berhati-hati dan menunggu disahkannya asas tunggal oleh DPR. Berbeda dengan NU, Muhammadiyah mengalami konflik interest dalam proses penerimaan asas tunggal Pancasila.”
Fikrul tidak sepenuhnya benar. NU sendiri bukannya tidak mengalami dilema menghadapi gagasan asas tunggal Pancasila ini.
Seperti diuraikan oleh Mohammad Iqbal dalam kolomnya, NU, PPP dan Represi Orde Soeharto pada Islam, perlawanan NU terhadap asas tunggal Pancasila terjadi sangat serius pada Sidang Umum MPR 1978 ketika Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) diwicarakan. Kali ini GBHN mengandung dua item yang sulit diterima kebanyakan umat Muslim Indonesia. Satu item menyebutkan aliran kepercayaan berdampingan dengan agama-agama resmi dan karena itu secara implisit memberikan pengakuan formal kepada aliran kepercayaan sebagai agama tersendiri. Item yang lain adalah usulan program pemerintah untuk melakukan indoktrinasi ideologi negara, Pancasila (menurut penafsiran Orde Baru), secara massal, yang kelak memuncak menjadi keharusan asas tunggal Pancasila.
Kiai Bisri Syansuri, tokoh penting NU, memandangnya sebagai ancaman terhadap status Islam sebagai agama dan memprotesnya dengan keras. Ketika dilangsungkan voting atas pasal itu, para anggota NU yang diikuti kelompok PPP lain secara demonstratif meninggalkan tempat sidang (walk out). Sikap ini bukanlah ketidaksenangan kalangan Muslim terhadap Pancasila itu sendiri, tetapi terhadap relativisme agama yang terkandung dalam program indoktrinasi ini. (Semua agama yang diakui sama benarnya serta memberikan tempat sejajar dengan Aliran Kepercayaan).
Mediasi antara Islam dan Pancasila di kalangan NU dimulai oleh, salah satunya, KH As’ad Syamsul Arifin — itu pun setelah memasuki dekade 1980an. Puncaknya terjadi pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Di sanalah NU secara resmi mendukung Pancasila sebagai prinsip dasar kebangsaan.
HMI sendiri menerima asas tunggal Pancasila dengan sikap setengah terpaksa — sebagaimana kebanyakan organisasi Islam. Di internal HMI sendiri terjadi perdebatan yang bahkan harus dibayar dengan pecahnya organisasi ini. Kelompok HMI yang menolak asas tunggal itu lalu membentuk HMI tandingan yang dikenal sebagai HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).
Menurut Fikrul Hanif Sufyan, di jajaran para penolak ada pula Pelajar Islam Indonesia (PII) dan tokoh-tokoh Islam macam Deliar Noer, A.M. Fatwa, dan Sjafrudin Prawiranegara sang ketua PDRI. PII harus mengalami hal pahit. “Mereka harus membubarkan diri sebab pada kongres tahun 1985 yang tidak mendapat izin pemerintah [….] pada 17 April 1987 PII akhirnya membubarkan diri.”
Jika harus dirunut, represi melalui asas tunggal inilah yang justru memicu perlawanan dari umat Islam, baik perlawanan aktif seperti dalam Tragedi Priok maupun perlawanan pasif (dengan menyingkir dan membangun kampung sendiri) seperti yang dilakukan Warsidi di Talangsari.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani
Pemerintahan Soeharto menerbitkan UU Nomor 3/1985 yang mengharuskan asas tunggal Pancasila