Kakek Rasulullah saw adalah Hasyim bin ‘Abdimanaf. Mengikuti para pendahulunya, setiap kali datang bulan Dzulhijjah, dia mengumpulkan masyarakat Makkah di sekitar Ka’bah. Sambil bersandar di dinding Ka’bah, dia menyampaikan pesan-pesannya: ”Wahai kaum Quraisy, Allah telah memberikan tempat bagi kalian di sisi rumah-Nya. Inilah sebuah kehormatan yang melebihi seluruh keturunan Isma’il. Berhati-hatilah wahai kaumku, tidak lama lagi para pengunjung rumah Allah ini akan berdatangan.
Mereka adalah tamu-tamu Allah. Diantara mereka banyak fakir miskin yang datang dari tempat yang jauh. Saya bersumpah demi Tuhan rumah ini, bila aku mampu menjamu semua tamu-tamu Allah itu, niscaya saya tidak akan melibatkan dan membebani kalian. Saat ini, saya infaqkan seluruh kekayaan yang saya miliki secara halal untuk maksud itu.
Saya bersumpah demi kehormatan ‘rumah ini’, kalian jangan dan tidak boleh membantu dari kekayaan yang kalian dapat dengan cara haram atau syubhat atau karena terpaksa. Apabila seseorang keberatan membantu, maka ia bebas untuk tidak menyumbangkan sesuatu apapun.”
Hasyim adalah seorang pedagang yang rute perjalananannya Makkah-Syam (kini kita kenal sebagai Suriah). Suatu hari, dalam perjalanannya kembali ke Makkah, dia singgah di Madinah (dulu disebut Yatsrib).
Seperti pedagang lainnya, dia menyempatkan berkeliling pasar Madinah. Di pasar itulah dia melihat seorang wanita yang tak disangka mencuri hatinya.
Hasyim jatuh cinta pada pandangan pertama dan ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Dialah Salma, putri ‘Ammar al-Khazraji. Seorang janda muda terhormat yang tidak memiliki niatan untuk menikah lagi sebab trauma pada pernikahan sebelumnya. Ini membuat Hasyim kian bersimpati dan berniat menikahinya.
Anehnya, Salma yang selama ini selalu menolak lamaran pemuda-pemuda Madinah, seperti sengaja menunggu sosok Hasyim. Dalam benaknya, lelaki inilah yang telah dinantinya untuk memberi keturunan yang mulia. Salma melihat “Nur Ilahi” tersirat di wajah Hasyim. Baginya, Hasyim memberi kesan berbeda dari pria-pria Quraisy lainnya. Salma pun menerima lamaran Hasyim dengan bahagia.
Pernikahan sederhana segera disiapkan. Dihadiri kurang lebih 40 orang rombongan Hasyim dan beberapa keluarga dekat Salma.
Sebelum menikah Salma memberi syarat untuk melahirkan anak pertamanya di Madinah. Pengantin baru ini lantas tinggal beberapa hari sesuai tradisi di sana, sebelum kemudian berangkat ke Makkah dan menetap di situ. Menjelang kelahiran anak yang didambakannya, Salma kembali ke Madinah sesuai perjanjian. Lahirlah seorang bayi laki-laki sebagai jawaban doanya selama masa kehamilan. Anak laki-laki itu diberi nama Syaibah. Wajahnya yang sangat mirip dengan sang ayah menambah kecintaan dan perhatian kedua orang tuanya.
Syaibah tumbuh sebagai anak yang cerdas, tangkas, gagah, membawa bakat kepemimpinan yang menonjol. Setiap kali Hasyim berdagang ke Suriah, dia pasti singgah di Madinah menjenguk Syaibah dan Salma, sang kekasih.
Dalam salah satu perjalanan dagang bersama saudaranya Muttholib, Hasyim ingin beristirahat di sebuah desa kecil dekat Suriah. Namanya Gazzah. Di situ dia mereka sangat letih dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Dia seperti menyadari ajalnya sudah dekat.
Hasyim lalu meminta saudaranya Muttholib agar duduk di dekatnya. Dia ingin menyampaikan wasiat:
”Saudaraku Muttholib, temuilah ‘budakmu’ Syaibah di Madinah, berikanlah semua barang peninggalanku ini untuk ‘biji mataku’ Syaibah, putraku itu”.
Sebutan “budakmu” seperti mengisyaratkan penguasaan Syaibah pada Muttholib.
Sepeninggal Hasyim, Syaibah adalah segala-galanya bagi Salma yang kesepian. Anak satu-satunya itu menjadi penawar, kenangan rindu pada sang suami. Salma melihat kekasihnya Hasyim di wajah Syaibah. Karena itu Salma menolak permintaan Muttholib untuk membawa Syaibah ke Makkah.
Sampai pada suatu hari, seorang laki-laki asal Makkah berjalan-jalan di Madinah. Dia melihat sekumpulan anak sedang berlomba memanah. Laki-laki itu berhenti dan mengamati. Dia terpikat pada seorang bocah yang memenangkan lomba. Ia mendekati anak itu dan bertanya, ”Hei nak, Siapakah engkau?”
Menatap wajah si penanya, anak itu menjawab percaya diri: ”Saya Syaibah bin Hasyim bin ‘Abdimanaf, Pemimpin Quraisy”. Rupanya anak ini adalah ponakan Muttholib, sahabatnya.
Sampai di Makkah, dia segera menemui Muttholib. ”Wahai Muttholib,” katanya membawa kabar, “lupakah engkau pada anak saudaramu Hasyim di Madinah? Kalau saja engkau melihatnya sekarang, wahai Muttholib, bagaimana ia sungguh telah mewarisi ayahnya Hasyim, wajah, sikap, tingkah lakunya, semakin nyata sebagai calon pelanjut kepemimpinan Quraisy”.
Kabar itu menyentak Muttholib. Terbayanglah desa Gazzah. Perjalanan, pertemuan, dan perpisahan terakhirnya bersama saudaranya, Hasyim. Wasiat Hasyim terngiang jelas di telinganya. Muttholib akhirnya berniat kembali menjemput Syaibah ke Madinah sore itu juga.
Sesampainya di Madinah, Muttholib langsung ke rumah Salma. Kebetulan Syaibah yang membuka pintu. Meski lama tidak bertemu, wajah kemenakannya itu tidak asing baginya. Syaibah memang sangat mirip dengan kakaknya. Muttholib langsung memeluk Syaibah. ”Aku adik ayahmu, yang telah lama merindukanmu, wahai anak saudaraku tercinta”.
Muttholib melepaskan kerinduan dengan menciumnya berkali-kali, seperti seorang ayah yang menemukan anak kesayangannya setelah lama hilang. Niat Muttholib pun semakin mantap. Ia bersumpah takkan kembali ke Makkah tanpa Syaibah, sebagaimana wasiat Hasyim yang diserahkan padanya.
Baca selengkapnya dalam bentuk pdf; Download
Sumber: Albert Blogs